Oleh
KH.
Bachtiar Nasir
Bismillahirrohmanirrahiim
Surat
At-Talaq ayat 3:
وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ
ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
“Dan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Hidup
ini sebenarnya akan berbahagia; tidak perlu merasakan tekanan, tidak perlu
dipenuhi dengan kekhawatiran, dan juga tidak perlu ngoyo. Cara untuk
mendapatkan kebahagiaan itu mudah, yaitu bertawakal kepada Allah Ta’ala sebelum
berikhtiar, ketika sedang berikhtiar, dan setelah berikhtiar. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:
1.
Saat merencanakan/ membuat planning, bertawakallah kepada Allah. Jangan sombong
akan kemampuan diri dan jangan mendahului Allah Ta’ala. Bersandarlah kepada
Allah.
2.
Jalankan planning dan bila dalam proses pelaksanaannya terdapat temuan-temuan
baru, maka tetaplah dalam koridor ketawakalan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bahwa, yang mengizinkan semua itu terjadi adalah Allah.
3.
Boleh menetapkan target, tetapi tidak boleh melampaui keimanan kita terhadap
kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Hasilnya tidak usah mendikte Allah; berapanya,
bagaimana, dan kapannya. Juga jangan mengeluh bila terasa begitu terlambat.
Bersabarlah karena Allah Swt sesungguhnya tidak pernah telat, hanya saja kita
yang banyak menuntut. Hal ini terbukti dengan tidak pernah terlambatnya
matahari bersinar, meski kita dalam keadaan malas bangun sekali pun.
InsyaAllah,
semuanya akan menemui akhirnya, baik maupun buruk; semuanya adalah hasil yang
Allah kehendaki dan harus diterima.
Oleh
karena, sebenarnya hidup kita sudah lengkap manakala menjalaninya dengan
tawakal. Merasa cukup dengan adanya Allah Ta’ala. Merasa cukup dengan menerima
apa pun ketentuan yang Allah berikan. Tanpa merasa cukup ini, kita akan
“belingsatan”, sengsara, merasa gelisah, dan hidup dalam tekanan. Bayangkan
saja, hanya untuk membayar kredit mobil, maka banyak orang rela menggadaikan
hidup untuk bekerja under pressure, siang-malam, dan lembur tanpa kenal waktu.
Lelah dan celaka betul kehidupan seperti ini.
Maka,
bersandarlah kepada Allah dan rida terhadap apa yang diberikan Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Niscaya Allah cukupkan kebutuhannya. Tanpa pernlu merasa disakiti,
dizalimi, dan dibawah tekanan karena Allah- lah yang menjaga dan melengkapi
kebutuhannya.
Ada
seorang sahabat dari Asja’ yang menjadi tawanan perang. Kemudian, ayah dari
sahabat ini mengadu kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, semua pasukan sudah
pulang. Yang sakit juga sudah terlihat luka-lukanya. Ya, Rasulullah, yang
syahid pun sudah kami kuburkan dan kami lihat pemakamannya. Namun, dimana
anakku dimana ya rasulullah. Rasulullah saw kemudian menyuruhnya bersabar. Buah
dari kesabarannya adalah anaknya kemudian pulang dalam kondisi baik-baik saja
dan membawa rampasan perang.” (Tafsir Al-Samarqandi jilid 3 halaman 461).
Jadi
dari asbabun nuzul ini, apapun situasi yang tengah kita hadapi, yang berada di
luar jangkauan kepala kita; jangan sampai membuat kita hilang kesabaran dan
berpersangka buruk pada Allah dan rasul-Nya. Jangan pula membuat skenario
sendiri. Mengira-ngira apa yang bisa diperbuat, tetapi lupa bahwa sejatinya,
pemilik segala keputusan yang akan berlaku di dunia ini hanyalah Allah Ta’ala.
Bersabarlah dan ingatkanlah diri untuk senantiasa merasa cukup dengan adanya
Allah dan ketetapan-Nya, dan perbanyaklah mengucapkan, “Hasbunallah wani’mal
wakil”.
Ingatlah
hadits ini untuk memperkuat ketawakalan:
“Andai
saja kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya,
niscaya Allah akan memberikan rezeki seperti burung-burung; yang pergi di pagi
hari dalam keadaan perut yang kosong kemudian kembali di sore hari dalam
keadaan kenyang.” (Riwayat Tirmidzi).
Mengapa
Rasulullah saw mengandaikan dengan burung? Karena burung adalah mahluk Allah
yang hatinya lembut. Maka, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyapa para sahabat dan kaum mu’minin yang hatinya lembut agar senantiasa
melihat bagaimana burung-burung menyerahkan urusan mereka kepada Allah Azza wa
Jalla.
Ada
pun makna tawakal menurut beberapa ulama, terkait dengan hadits ini adalah:
1.
Menurut Al- Munawi
Makna
hadits ini adalah burung yang pergi pagi dalam keadaan lapar kemudian pulang di
sore hari dalam keadaan kenyang adalah untuk memberi tahu kita bahwa yang
membuat kita memperoleh rezeki, sejatinya bukanlah ikhtiar yang kita lakukan.
Namun, yang menentukan rezeki adalah Sang Maha pemberi rezeki, Allah Robbul
Izzati.
Tawakal
juga bukan menganggur dan bukan berarti santai. Akan tetapi, tetap harus
menjalani usaha untuk sebuah sebab. Burung-burung juga melakukan usaha dengan
pergi pagi dan pulang ketika sore. Namun, ketawakalan dari mahluk Allah inilah
yang membuatnya memiliki rezeki yang mencukupi kebutuhannya. Meski tanpa akal
dan sumber daya seperti yang dimiliki oleh manusia.
2.
Menurut tafsir Jalalain, tawakal adalah barang siapa yang bertawakal kepada
Allah dalam semua urusannya, maka Allah akan mencukupinya dengan izin-Nya.
Namun
demikian, sekali lagi tawakal bukanlah tanpa usaha. Dan, usaha bukanlah
satu-satunya jalan untuk mendapatkan hasil akhir. Karena, kekuasaan Allah dan
ketawakalan kepada-Nya yang akan memberikan hasil terbaik untuk kita.
Sebuah
kisah dari Abu Hasan Umarbin Wasil Al-Ambari, kiranya memberi gambaran kepada
kita. Seorang yang bernama Sahlan bercerita bahwa dia masuk ke dalam sebuah
kampung selama tujuh hari tanpa bekal makanan dan minuman. Namun, setiap kali
dia butuh makan dan minum, semuanya selalu tersedia.
Kemudian
beberapa waktu setelahnya, dia kembali memasuki kampung tersebut. Kali ini agak
berbeda. Dia bertemu dengan seorang lelaki yang memberiku kantung uang dirham,
tetapi anehnya ketika dia berjalan dan merogoh kantongnya, ternyata sudah tidak
ada apa-apa. Sementara dia juga tidak mendapatkan makanan dan minuman yang
biasanya tersedia. Tubuhnya pun semakin lelah dan tidak ada sedikit pun
makanan.
Tak
lama terdengar suara dari langit yang menyuruhnya untuk mengeluarkan semua yang
ada di dalam kantong, niscaya rezekinya akan tersedia seperti biasa. Sahlan pun
menyadari bahwa sepertinya ia ditegur akan “ketawakalannya” pada uang dirham
yang diperolehnya. Saat itu, dia kemudian ingat bahwa di kantongnya masih ada
dua dirham. Maka, ia pun segera mengeluarkan dan menyedekahkannya. Barulah
setelah itu, nikmat makanan dan minuman yang biasa didapatkannya, tersedia
kembali.
Dalam
hidup, sebenarnya peristiwa semacam itu seringkali terjadi. Namun, kita salah
bersandar. Ketika bekerja yang dikejar hanya uang atau, maka akan sangat lelah
kehidupan ini dan rezeki dalam bentuk lainnya yang selama ini kita dapatkan pun
menghilang.
3.
Menurut Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, “Tawakal adalah sebab yang paling kuat bagi
seorang hamba untuk menghadapi sesuatu yang berada di luar kemampuannya seperti
bahaya, permusuhan. Orang yang sudah dicukupi dan dikindung Allah maka tidak
ada bahaya yang mengancamnya kecuali apa yang bahaya yang biasa.”
4.
Sementara, menurut Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar jilid 10 halaman 7467, “Dia
yang bertawakal kepada Allah dengan menyerah sebulat hati, yakin bahwa Allah
tidak akan mengecewakannya; pendirian yang seperti itu membuat dia tidak pernah
berputus asa terhadap rahmat Allah. Pengalaman manusia berkali-kali, hidup
adalah pergantian antara susah dengan senang. Karena keyakinan yang demian
teguh, maka pintu yang tertutup bagi orang lain maka bagi orang yang bertakwa
menjadi terbuka. Perbendaharaan orang yang betawakal tidak akan dibiarkan Tuhan
menjadi kering. Ketika dekat akan kering, datang saja bantuan baru yang tidak
disangka-sangka.”
Inilah
pentingnya bertawakal kepada Allah. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah
Azza wa Jalla terhadap apa pun yang akan terjadi, setelah berusaha sepenuh
daya; dan merasa cukup bersama dengan apa yang Allah Ta’ala berikan kepadanya.
Sikap ini akan membuat seseorang menyadari bahwa hidup sejatinya adalah
permainan, pergantian antara susah dan senang yang harus disikapi dengan
tawakal.
Bukan
pada ikhtiar, fokus seorang muslim mengupayakan kebutuhan yang ada dalam
kehidupan. Karena, sejatinya kemampuan yang digunakan pun adalah perbendaharaan
Allah yang dipinjamkan kepadanya. Namun, tambatan terkuatnya adalah bagaimana
rida terhadap apa pun yang Allah berikan kepadanya. Baik atau burukkah, kurang
atau sesuai dengan ekspektasikah, tepat waktu atau harus bersabarkah; semuanya
adalah hal terbaik yang Allah berikan dan kita merasa cukup dengan itu semua.
“Ya Allah, sesungguhnya hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mulah aku beriman, hanyalah kepada-Mu-lah aku bertawakal. Hanya kepada-Mu aku kembali, hanya karena-Mu, aku memusuhi musuh-musuhmu. Ya, Allah sesungguhnya aku hanya berlindung kepada keagungan-Mu.” Laa haula walaa quwwata ilaabillahil aliyul adziim.
Sumber:
https://www.panjimas.com/citizens/2022/09/16/kh-bachtiar-nasir-hamba-yang-merasa-cukup-bersama-allah-dan-dicukupi-allah/