Oleh:
KH
Bachtiar Nasir
SEBAGAI orang
beriman kita perlu memahami hakikat kehidupan ini sebagaimana yang dijelaskan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Alquran:
إِنَّا خَلَقْنَا
الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat.” (Surat Al-Insan [76]: 2).
Ayat di
atas menegaskan kepada kita bahwa kehidupan ini adalah ujian bagi manusia.
Apakah ia akan tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau sebaliknya
malah membangkang dan mengingkari perintah-Nya.
Dan khusus
untuk orang yang beriman, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan dalam
Alquran bahwa ia pasti akan menguji para hamba-Nya yang mengaku beriman.:
أَحَسِبَ النَّاسُ
أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah
beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Surat Al-Ankabut [29]: 2).
أَمْ حَسِبْتُمْ
أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُم
ۖ مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ
وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّـهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّـهِ
قَرِيبٌ
“Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa
oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam
cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya:
“Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah
itu amat dekat.” (Surat al-Baqarah [2]: 214).
Bahkan
dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih memperjelas lagi bahwa ia pasti akan menguji kita dengan
sedikit rasa takut, kelaparan, kekurang harta, jiwa dan buah-buahan.
وَلَنَبْلُوَنَّكُم
بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar.” (Surat al-Baqarah [2]: 155).
Maka
jangan sekali-kali kita mengira bahwa begitu kita bertobat dan melakukan segala
macam amal ibadah secara otomatis kita akan mendapatkan segala kenikmatan dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala, segala bencana dan kesusahan akan diangkat dari kita
dan kita akan hidup penuh kesenangan. Bahkan mungkin yang terjadi adalah
datangnya ujian dan cobaan baru untuk menguji apakah seseorang betul-betul
taubat dan beramal karena Allah Subhanahu wa Ta’ala atau karena yang lainnya.
Ketika
sudah memahami hal itu dan meyakini bahwa orang-orang beriman pasti akan
mengalami ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu wa a’ala dan ujian itu bisa
berupa nikmat dan bisa juga berupa musibah maka hati kita akan tenang dan
menerima semua itu. Bukan dalam artian fatalistik, menerima kemudian tidak
berusaha sama sekali, tetapi ridha dengan segala ketentuan Allah Subhanahu wa
Ta’ala setelah berusaha sesuai kemampuannya.
Sehingga
kemudian Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang
baik (al-hayah al-thayyibah) dalam Alquran itu adalah kehidupan hati, nikmat
dan kegembiraan hati karena iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
mengenal-Nya, mencintai-Nya, bertaubat dan bertawakkal kepada-Nya. Sesungguhnya
tidak ada kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan hati yang seperti itu,
dan tidak ada kenikmatan yang lebih baik daripada kenikmatan hati itu kecuali
nikmat surga.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ
صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Surat Al-Nahl [16]: 97).
Ibrahim
bin Adham seorang tabi’in yang sangat zuhud mengatakan kepada orang-orang
dekatnya, “Seandainya para raja dan para pangeran mengetahui kebahagian dan
kegembiraan yang kita rasakan maka mereka akan berusaha merebutnya dari kita
dengan pedang.
Sedangkan
untuk orang-orang kafir dan orang yang selalu berbuat maksiat, Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjelaskan keadaannya di dunia ini.
وَمَنْ أَعْرَضَ
عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan
buta”. (Surar Thaha [20]: 124).
Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa orang-orang kafir itu tidak akan pernah
merasakan ketenangan hati dalam hidupnya. Tetapi selalu berada dalam
kegelisahan, kebingungan dan keraguan meskipun secara lahirnya terlihat
menikmati hidup, makan apa yang ia mau, memakai pakaian yang ia suka dan pergi
kemana ia hendak pergi.
Syarat
Dikabulkan
Dan dalam
masalah doa ada dua hal penting yang mesti kita perhatikan. Pertama, adalah
suatu kesalahan jika kita mengira bahwa begitu kita berdoa maka lansung
dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena doa itu ada syarat-syaratnya
agar dikabulkan oleh Allah Ta’ala, seperti ikhlas dalam berdoa,
bersungguh-sungguh dalam berdoa, bertawassul dengan asmaul husna. Dan ada
halangan untuk dikabulkannya doa kita seperti memakan harta haram, tidak
bersungguh-sungguh dalam doa dan tergesa-gesa dalam berdoa. Dalam hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi waallam dijelaskan:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ”
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ : دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ
لِي
Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Akan dikabulkan do’a salah seorang diantara kalian selama
ia tidak tergesa-gesa (dalam do’anya), yaitu dengan berkata: “Saya telah
berdo’a, tapi belum juga dikabulkan.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam
riwayat Muslim disebutkan:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَنَّهُ قَالَ
: ” لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ
مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ ” ، قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَا الِاسْتِعْجَالُ ؟ ،
قَالَ يَقُولُ : ” قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي ، فَيَسْتَحْسِرُ
عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ
Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Senantiasa dikabulkan do’a seorang hamba selama ia tidak
berdo’a dalam perkara dosa atau dalam rangka memutus hubungan silaturrahim,
serta tidak tergesa-gesa.” Maka ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa
maksudnya tergesa-gesa (dalam do’a) itu?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang
berdo’a itu berkata: ‘Saya sudah berdo’a dan berdo’a, tapi belum juga
dikabulkan.’ Kemudian ia jenuh untuk berdo’a dan akhirnya meninggalkan do’a
(tidak lagi berdo’a).”
Kedua,
adalah suatu kesalahan jika kita mengira bahwa bentuk dikabulkannya doa itu
hanya dengan direalisasikannya apa yang kita dalam doa-doa kita. Karena bentuk
dikabulkannya doa kita ada tiga, yaitu terealisasikannya apa yang kita minta
dalam doa kita, dihindarkannya kita dari keburukan yang setimpal dengan doa
kita atau Allah menyimpankannya untuk kita sebagai amal ibadah yang akan
dibalas dengan berlipatganda di hari kiamat nanti.
Dalam
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dijelaskan:
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ
اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ : إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا
أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ
مِثْلَهَا ، قَالُوا : إِذًا نُكْثِرُ ؟ قَالَ : اللَّهُ أَكْثَرُ
Abu Sa’id
al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa kepada Allah dengan suatu doa yang
tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturrahim melainkan Allah berikan
kepadanya salah satu dari yang tiga, yaitu disegerakan sesuai dengan apa yang
dia minta, atau Allah simpankan untuknya di akhirat nanti atau Allah palingkan
kejahatan darinya setimpl dengan apa yang dia minta. Maka para sahabat berkata,
“kalau begitu kami akan memperbanyak doa.’ lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ” Penerimaan Allah lebih banyak lagi.” (Riwayat Ahmad dan
Hakim).
Sebagai
seorang mukmin kita harus selalu merasa bahwa ibadah yang kita lakukan masih
kurang sehingga hal itu memberi kesadaran kepada kita bahwa hal itu membuat
kita menjadi hamba yang belum pantas dikabulkan doanya sehingga kita terus
berusaha memperbaiki amal ibadah kita. Janganlah kita merasa sudah melakukan
amal ibadah yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang membuat kita
menganggap bahwa doa-doa kita seharusnya dikabulkan Allah. Sehingga ketika kita
merasa doa-doa kita tidak dikabulkan kita menjadi berputus asa. Wallahu a’lam
bish shawab.*
Sumber:
https://bachtiarnasir.com/tadabbur/berdoa-tapi-merasa-tidak-dikabulkan/