Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Ustaz,
jika ada yang ingin menjodohkan bapak dari perempuan (istri) ke ibu dari pihak
laki-laki (suami). Apakah boleh bapak dari pihak istri menikah dengan ibu dari
pihak suami ustaz? Mengingat kedua anak perempuan dan laki-laki mereka sudah
menjadi suami istri dan dalam hubungan pernikahan.
Hamba
Allah.
Jawab:
Wa’alaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَنكِحُوا
مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا ﴿٢٢﴾ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ اللَّاتِي
دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ
إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Surat An-Nisa` [4]: 22-23).
Dalam
kedua ayat di atas Allah SWT menjelaskan secara detil wanita-wanita yang haram
dinikahi oleh seorang laki-laki, yaitu:
·
Mantan istri bapak
·
Ibu yang melahirkannya
·
Anak perempuannya sendiri
·
Saudara perempuannya sendiri
·
Saudara perempuan bapaknya (bibi dari pihak
bapak)
·
Saudara perempuan ibunya (bibi dari pihak ibu)
·
Anak perempuan dari saudara laki-laki
(keponakan dari jalur saudara laki-laki)
·
Anak perempuan dari saudara perempuan
(keponakan dari jalur saudara perempuan)
·
Perempuan yang pernah menyusuinya (ibu susuan)
·
Saudara perempuan sepersusuan
·
Ibu dari istri (mertua)
·
Anak tiri yang ibunya sudah dicampuri olehnya.
·
Istri anaknya sendiri
· Saudara perempuan istri, jika masih menjadi istrinya (mengumpulkan dua wanita bersaudara sekaligus dalam hubungan pernikahan).
Pada ayat
setelahnya Allah SWT menegaskan:
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّـهِ عَلَيْكُمْ
ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ
غَيْرَ مُسَافِحِينَ
“…dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (Surat An-Nisa` [4]: 24).
Dalam ayat
ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengharamkan menikah dengan wanita-wanita
yang masih bersuami (masih menjadi istri orang). Kemudian Allah menegaskan
bahwa yang selain yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas maka boleh dinikahi.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa hubungan sepersusuan itu
juga mengharamkan sebagaimana hubungan nasab.
عَنْ عُرْوَةَ
، عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ ، أَنَّ عَمَّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ يُسَمَّى
أَفْلَحَ ، اسْتَأْذَنَ عَلَيْهَا فَحَجَبَتْهُ ، فَأَخْبَرَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فقَالَ لَهَا : ” لَا تَحْتَجِبِي مِنْهُ ، فَإِنَّهُ
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
Urwah
meriwayatkan bahwa Aisyah ra mengabarkan kepadanya bahwa paman dari hubungan
persusuannya yang bernama Aflah meminta izin untuk menemuinya, maka beliau
menutup diri darinya. Lalu beliau mengabarkan perkara itu kepada Rasulullah
SAW. maka beliau bersabda kepadanya: “Janganlah kamu menutup (menghijab) diri
darinya karena sesungguhnya apa yang diharamkan karena hubungan penyusuan
adalah sama seperti apa yang diharamkan karena hubungan nasab.” (Riwayat
Muslim).
Dalam
hadits lain disebutkan:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا ، وَلَا بَيْنَ
الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
Abu
Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Janganlah menikahi
sekaligus seorang wanita dan bibinya (dari pihak ayah), atau seorang wanita dan
bibinya (dari pihak ibu). (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Itulah
wanita-wanita yang haram dinikahi, ada yang haram dinikahi selama-lamanya,
sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat 23 surat An-Nisa` di atas. Kecuali dalam
masalah menghimpun dua perempuan bersaudara, di mana jika kita telah
menceraikan salah satunya maka boleh menikahi saudaranya yang satu lagi. Begitu
juga keharaman karena sebab persusuan, ia juga bersifat selama-lamanya.
Dan ada
juga yang keharamannya bersifat sementara, seperti wanita yang masih menjadi
istri orang, di mana jika jika ia diceraikan suaminya, maka boleh dinikahi.
Dan dalam
semua yang diharamkan itu tidak disebutkan mertua dari anak atau besan, maka
boleh hukumnya bagi mereka untuk menikah karena itu termasuk ke dalam apa yang
dibolehkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَأُحِلَّ لَكُم
مَّا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ
“Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.” (Surat An-Nisa` [4]: 24).
Wallahu
a’lam bish shawab. (*)
KH
Bachtiar Nasir
Sumber: https://bachtiarnasir.com/artikel/besanan-menikah-bolehkah/