Oleh:
KH Bachtiar Nasir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا
مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (Surat An-Nahl [16]: 97).
Kehidupan yang baik adalah harapan dan
tujuan setiap orang. Dimana mereka berjuang dan berusaha untuk mencapainya.
Tidak ada orang di dunia yang tidak berusaha dan berlari mengejar kehidupan
yang baik tersebut. Tetapi, banyak di antara kita yang salah dalam memaknai
kehidupan yang baik itu sehingga kita juga memilih jalan yang salah untuk
mencapainya.
Di antara kita ada yang memaknai
kehidupan yang baik itu dengan harta yang berlimpah dan hidup dalam segala
kemewahan. Tidak sedikit di antara kita yang memaknai kehidupan yang baik itu
dengan pangkat dan jabatan yang tinggi. Banyak juga di antara kita yang
memaknainya dengan popularitas yang tiada bandingnya. Untuk mencapai semua itu
mereka berusaha sekuat tenaga, bahkan dengan menghalalkan segala macam cara
yang bertentangan dengan norma dan ajaran Islam. Setelah mencapai semua itu
mereka tidak menemukan kehidupan yang baik itu.
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا
أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا
جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّـهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ
حِسَابَهُ ۗ وَاللَّـهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang kafir amal-amal
mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu
Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitungan-Nya.” (Surat An-Nur [24]: 39).
Alquran sebagai kitab hidayah dan
petunjuk bagi jalan hidup manusia telah menjelaskan makna dan standar dari
kehidupan yang baik itu yang hanya dapat dicapai melalui amal shaleh dan
keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat
al-Nahl ayat 97 di atas.
Para ulama tafsir berbeda-beda dalam
menjelaskan maksud dari al-hayah al-thayyibah (kehidupan
yang baik) dalam ayat ini. Imam al-Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa
ada beberapa pendapat mengenai makna dari kehidupan yang baik dalam ayat ini
adalah lain:
- Rezeki yang halal. Ini perkataan Ibnu Abbas, Sa’id
bin Jubair, ‘Atha` dan al-Dhahhak.
- Sifat Qana’ah. Ini pendapat hasan al-Basri, Zaid
bin Wahab, Wahab bin Munabbih, Ikrimah, Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib.
- Taufik Allah dalam berbuat ketaatan karena itu
akan mengantarkannya kepada keridhoan Allah SWT. ini salah stau pendapat
al-Dhahhak.
- Nikmat surga. Ini pendapat Mujahid, Qatadah dan
Ibnu zaid.
- Ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya, setelah
menyebutkan pendapat-pendapat ulama tentang makna dari kehidupan yang baik itu
kemudian menyimpulkan bahwa kehidupan yang baik itu mencakup itu hal itu semua
sesuai dengan hadits Nabi SAW.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
، قَالَ : ” قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ ، وَرُزِقَ كَفَافًا ، وَقَنَّعَهُ
اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Abdullah bin Amru bin al-‘Ash
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh sangat beruntung seorang
yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allah
menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki
yang Allah berikan kepadanya.” (Riwayat Muslim).
Syaikh Thahir bin ‘Asyur dalam
tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir menjelaskan
bahwa ini merupakan janji dari Allah kepada orang beriman dan beramal shaleh
berupa segala bentuk kebaikan dunia, yang paling utamanya adalah rida dengan
segala ketentuan Allah SWT dan harapan akan akhir yang baik, sehat wal ‘afiat
serta ‘izzah Islam dalam jiwanya.
Sedangkan Ibnu al-Qayyim dalam
kitabnya Madarij al-salikin menjelaskan bahwa para ulama telah menafsirkan
bahwa kehidupan yang baik itu maksudnya adalah dikaruniakan sifat qana’ah,
ridha dengan segala ketentuan Allah SWT., rezeki yang baik dan lain-lainnya.
Yang benar maksudnya adalah kehidupan hati, nikmat dan kegembiraan hati karena
iman kepada Allah SWT, mengenal-Nya, mencintai-Nya, bertaubat dan bertawakkal
kepada-Nya. Sesungguhnya tidak ada kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan
hati yang seperti itu, dan tidak ada kenikmatan yang lebih baik daripada
kenikmatan hati itu kecuali nikmat surga.
Ibrahim bin Adham seorang tabi’in yang
sangat zuhud mengatakan kepada orang-orang dekatnya, “Seandainya para raja dan
para pangeran mengetahui kebahagian dan kegembiraan yang kita rasakan maka
mereka akan berusaha merebutnya dari kita dengan pedang.
Esensi Kehidupan Baik
Ibnu Taimiyyah mengatakan kepada
muridnya Ibnu al-Qayyim, “Apa yang ingin dilakukan musuhku terhadapku? Surga
dan kebunku ada di dalam dadaku, kemanapun aku pergi, ia tidak pernah berpisah
dariku. Memenjarakanku berarti khilwah (menyendiri dengan Allah) bagiku,
membunuhku berarti mati syahid bagiku dan membuangku dari negeriku berarti
jalan-jalan bagiku.
Benarlah Rasulullah SAW yang bersabda:
عَنْ صُهَيْبٍ ، قَالَ :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” عَجَبًا لِأَمْرِ
الْمُؤْمِنِ ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا
لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ، وَإِنْ
أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ. رواه مسلم
Diriwayatkan dari Shuhaib, ia berkata,
“Rasulullah SAW. bersabda: “Sungguh menakjubkan perkara kaum mukmin,
sesungguhnya semua perkaranya adalah kebaikan, dan itu tidak akan terjadi
kecuali bagi orang beriman. Jika ia dianugrahi nikmat ia bersyukur dan itu baik
baginya , jika ia tertimpa musibah ia bersabar maka itu baik baginya.” (HR.
Muslim).
Semua pendapat dan ungkapan para ulama
itu menunjukkan bahwa kehidupan yang baik yang dimaksud dalam ayat di atas
adalah kehidupan jiwa dan hati orang yang beriman yang merasa tenang dengan
segala ketentuan Allah SWT, lapang dada menjalani takdir-Nya dan bahagia dengan
keimanannya kepada Allah SWT. Jadi yang dimaksud dengan kehidupan yang baik itu
bukanlah nikmat kesehatan badan, tidak sakit, kaya tidak pernah miskin dan
mengalami kesulitan hidup. Karena kalau yang dimaksudkan dengan semua itu maka
yang kita lihat orang kafir atau orang yang mengaku Islam tapi tidak hidup
sesuai dengan tuntuan Islam pun mendapatkan itu semua bahkan mungkin lebih dari
orang beriman yang beramal shaleh.
Allah SWT telah menegaskan kepada kita
bahwa kehidupan yang baik itu hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang beriman
dan beramal sholeh sesuai dengan syariat Allah SWT dan tuntunan Rasul-Nya.
Sebaliknya bagi mereka yang tidak mau
beriman dan beramal shaleh dalam artian berpaling dari mengingat Allah SWT,
maka Allah telah menyiapkan kehidupan yang sempit baginya. Allah SWT berfiman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن
ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَ
“Dan barangsiapa berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Surat Thaha [20]: 124).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa kehidupan yang sempit itu adalah kehidupan yang tidak ada
ketenangan di dalamnya dan tidak ada kelapangan dada, bahkan dadanya selalu
merasa sempit dan sesak meskipun secara zahirnya dia kelihatan dipenuhi kesenangan
hidup, bisa memakai pakaian dan makan apa saja serta tinggal dimana ia mau.
Selama ia belum sampai kepada keyakinan dan petunjuk Allah SWT, maka hatinya
akan selalu resah, bimbang dan ragu yang merupakan bentuk kesempitan hidup.*
Wallahu a’lam bish shawab..
Sumber: https://bachtiarnasir.com/tadabbur/inilah-kehidupan-baik-menurut-alquran/