Bismillahirrahmanirrahiim
Setiap mukmin
pastilah akan menghadapi ujian kesulitan, kesempitan, dan ketidakberdayaan
dalam masa kehidupannya. Disinilah dibutuhkannya jiwa yang tegar dan kuat untuk
menghadapinya. Semua itu akan didapatkan manakala seorang mukmin memiliki cara
pandang yang positif dan benar sebagai sandarannya melihat permasalahan.
Seorang
psikolog biasa menggunakan analogi gelas yang berisi air setengah gelas untuk
mengetahui apakah seseorang memiliki pola pikir positif atau negatif. Orang
yang menganggap gelas yang berisi air itu setengah penuh maka ialah orang yang
berpikiran positif, sementara orang yang mengatakan bahwa gelas itu setengah
kosong adalah dia yang berpikiran negatif.
Akan tetapi,
sejatinya, kemampuan untuk menghadapi masalah tidak hanya pada bagaimana kita
memandang sebuah masalah dari sebuah pola pikir negatif atau positif belaka.
Namun, pada sejauh mana seseorang cukup kuat dan tegar menghadapinya dan dengan
cara apa dia menyelesaikan masalah tersebut.
Orang yang
memegang gelas setengah penuh mungkin tidak akan merasa terbebani manakala
hanya memegangnya kurang dari lima menit. Namun, akan jadi berbeda rasanya
manakala harus memegang gelas yang berisi air setengah penuh itu lebih dari dua
jam atau bahkan lebih dari setengah hari. Inilah kondisi yang seringkali kita
hadapi. Masalah yang berlarut-larut harus kita hadapi dan belum kunjung
terselesaikan. Di sinilah ujian kesabaran dan daya tahan benar-benar akan
menilai kualitas jiwa yang kita miliki.
Allah Swt
memberi tahu dalam surat Adh-Dhuha ayat empat hingga ayat 11 bahwa Rasulullah
saw pernah mengalami fase-fase berat dalam hidup yang mesti dijalaninya selama
bertahun-tahun dalam kehidupannya.
Adh-Dhuha ayat
4-11:
وَلَلْآخِرَةُ
خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى (4) وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى (5) أَلَمْ
يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى (6) وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى (7) وَوَجَدَكَ عَائِلًا
فَأَغْنَى (8) فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ (9) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
(10) وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)
“dan sungguh,
yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan. Dan sungguh, kelak
Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu), dan
Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk, dan
Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap
orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardik(nya).”
Di ayat empat
Allah Swt menegaskan kepada Rasulullah Muhammad Saw bahwa janji Allah adalah
benar dan apa yang terjadi di akhir kehidupan seseorang juga semesta alam
adalah apa yang telah pastikan. Karena itu Allah akan membuat Rasulullah saw
ridha dengan apa yang berikan-Nya kepada beliau. Bukan hanya membuat Rasulullah
saw bahagia, tetapi bahkan membuatnya ridha.
Apa perbedaan
antara bahagia dengan ridha yang disebutkan dalam ayat kelima ini? Bila bahagia
adalah kondisi dimana seseorang berhasil mencapai apa yang diharapkannya, maka
ridha adalah kondisi, dimana apa yang diinginkan oleh seseorang selaras dengan
apa yang diinginkan oleh Tuhannya. Inilah kondisi jiwa yang telah suci dan
sesuai dengan kehendak Ilaahi.
Kebahagiaan
bisa tetiba lenyap karena tidak sejalan dengan orang-orang yang ada di sekitar
kita, apalagi jika bertentangan dengan kehendak Allah Ta’ala. Namun, ridha
tidak akan pernah terhapus karena ia setara dengan kehendak Allah Swt yang
tentunya akan direstui oleh mahluk-Nya yang beriman. Termasuk semesta alam
beserta isinya.
Di ayat enam,
Allah Swt mengingatkan kembali Rasulullah Muhammad saw bahwa beliau pernah
berada dalam kondisi kesendirian dan tanpa sandaran. Beliau terlahir sebagai
anak yatim, dan seusai masa menyusu, ibundanya meninggal. Digantikan dengan
pengasuhan dari kakek, tetapi juga tidak hingga dewasa, sang kakek wafat.
Dilanjutkan dengan pengasuhan dari paman hingga kemudian beliau ditemani oleh
sahabat-sahabat sejati hingga akhir hayatnya.
Diterima,
ditemani, ditopang, dan disokong. Inilah perlindungan Allah Swt kepada beliau
dan kepada hamba-Nya. Bahwasanya, orang-orang yang berada di jalan-Nya tidak
akan pernah sendiri dan kesepian. Ada Allah dan ada orang-orang yang benar dan
setia sejalan memperjuangkan kebenaran sehidup dan semati.
Di ayat
ketujuh, Allah memberikan petunjuk kepada Rasulullah saw ketika beliau dalam
keadaan tidak tahu apa-apa dan tidak tahu kemana harus melangkah. Allah tunjuki
beliau jalan dan menerangi jalan itu untuk beliau dengan cahaya iman dan
Al-Quran. Oleh karena itu, “segelap” apa pun jalan di depan tertutup masalah,
kita harus yakin bahwa ada Allah yang akan membimbing asalkan iman kita tak
pernah berkurang dan Al-Quran senantiasa menjadi pedoman.
Allah Swt
senantiasa mencukupi apa yang kita butuhkan dan tidak akan membiarkan hamba-Nya
dalam keadaan miskin. Allah menjamin bahwa Dia akan senantiasa memberi
kecukupan hidup bagi hamba-Nya dalam ayat kedelapan.
Oleh karena
itu, di ayat sembilan hingga 11, Allah Ta’ala ingin agar kita juga senantiasa
melindungi anak-anak yatim dan memberi mereka sandaran. Memberi dan berbagi
pada orang-orang yang fakir. Juga memperlihatkan rasa bersyukur dan menebar
kebahagiaan. Untuk menginspirasi dan menerangi jiwa-jiwa yang tengah mencari
arah kehidupan atau sejenak melipur lara mereka yang tengah terlilit kesedihan.
Semoga
keinginan kita senantiasa selaras dengan kehendak-Nya dan tuntunan-Nya. Agar
ridha senantiasa menyucikan jiwa untuk senantiasa teguh di jalan-Nya dan
membahagiakan hidup kita di dunia dan akhirat.
Khutbah Jum’at
KH. Bachtiar
Nasir
Sumber: https://www.panjimas.com/news/2022/08/05/khutbah-jumat-ubn-penyucian-jiwa-dalam-menghadapi-kesulitan/