Oleh:
KH Bachtiar Nasir
IBADAH Puasa Ramadhan merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim yang
tidak boleh ditinggalkan kecuali ada alasan atau uzur syar’i yang membuatnya
tidak bisa berpuasa. Jika seorang muslim yang masih kuat untuk berpuasa tapi ia
berhalangan atau mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa, maka ia wajib
membayar puasa yang ia tinggalkan tersebut di hari-hari lain di luar Ramadahan.
Sedangkan jika ia meninggalkan puasa itu karena memang sudah tidak kuat
lagi untuk berpuasa karena tua atau karena sakit yang sudah tidak ada harapan
lagi untuk sembuh maka ia wajib membayar fidyah dengan memberi makan seorang
miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
menegaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾ أَيَّامًا
مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ
مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا
خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam
beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. (Surat Al-Baqarah [2]: 183-184).
Para ulama bersepakat bahwa wajib hukumnya meng-qadha (membayar) puasa
yang ditinggalkan dalam bulan Ramadhan sebelum datangnya bulan Ramadhan
berikutnya. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah:
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت : كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ
الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي
شَعْبَانَ الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dulu aku memiliki utang puasa Ramadhan, sementara aku tidak bisa
mengqadha’nya kecuali sampai bulan Sya’ban, hal itu karena kesibukan dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, ini
lafaz Muslim).
Hadits menunjukkan bahwa Aisyah tidak menunda lagi untuk membayar puasa
yang ia tinggalkan hingga lepas Ramadhan berikutnya. Ia berusaha untuk membayar
di bulan Sya’ban sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Para ulama menjelaskan bahwa jika seseorang menunda untuk membayar puasa
yang dia tinggalkan hingga datang lagi Ramadhan selanjutnya maka harus dilihat
dulu keadaan dan alasan dia menunda meng-qadha hutang puasanya tersebut.
Pertama, jika ia menunda meng=qadha puasa yang ia tinggalkan itu karena
ada uzur syar’i seperti sakit terus hingga memasuki Ramadhan berikutnya,
menyusui atau hamil, maka ia tidak berdosa karena menunda tersebut. Dan ia
hanya diwajibkan untuk meng-qadha (membayar) puasa yang ia tinggalkan tersebut.
Kedua, jika seseorang menunda meng-qadha puasa yang ia tinggalkan
tersebut tanpa ada uzur syar’i maka dia berdosa karena telah menunda meng-qadha
puasanya tanpa ada udzur. Para ulama sepakat dia harus tetap meng-qadha puasa
yang ia tinggalkan tersebut. Tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang apakah
ia harus membayar fidyah juga disamping meng-qadha puasanya itu.
Jumhur ulama, yaitu Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat
bahwa disamping meng-qadha puasanya ia juga wajib membayar fidyah untuk setiap
hari yang puasanya ia tinggalkan karena ia telah menunda-nunda dan mengakhirkan
membayar hutang puasanya tersebut tanpa uzur syar’i. Dan karena hal itulah yang
dilakukan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Abbas dari kalangan sahabat.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa ia hanya diwajibkan untuk
meng-qadha puasa yang ia tinggalkan saja dan tidak wajib membayar fidyah karena
tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ia juga harus membayar fidyah, yang
disebutkan dalam ayat hanyalah mengqadha puasa saja.
Karena tidak adanya nash yang tegas memerintahkan kita untuk membayar
fidyah disamping kewajiban meng-qadha puasa yang kita tinggalkan kecuali
riwayat dari beberapa orang sahabat yang tidak dapat dijadikan sebagai dalil
untuk mewajibkan sesuatu ke atas seorang muslim, maka kebanyakan ulama sekarang
seperti Yusuf al-Qardhawi dan Syaikh ‘Utsaimin mengatakan bahwa hukum
meng-qadha puasanya adalah suatu kewajiban. Tetapi membayar fidyah karena
menunda meng-qadha puasa tersebut hukumnya adalah sunnah untuk membayar
kelalaian kita dalam menunaikan kewajiban itu.
Oleh karena itu, jika seseorang menunda meng-qadha puasa yang ia
tinggalkan pada Ramadhan sampai datang lagi Ramadhan berikutnya tanpa uzur
syar’i maka ia berdosa. Oleh karena itu ia harus bertaubat dan memohon ampun
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia wajib meng-qadha puasa yang ia tinggalkan
tersebut, dan jika ia juga membayar fidyah maka itu lebih baik.
Adapun jika karena memang ada uzur syar’i, yaitu karena sebab sedang
hamil maka kewajibannya hanyalah meng-qadha puasa yang ditinggalkan tersebut di
luar Ramadhan dan diusahakan jangan
sampai memasuki Ramadhan tahun depan
lagi kecuali kalau memang ada uzur syar’inya.
Wallahu a’lam bish shawab.*
Sumber:
https://bachtiarnasir.com/tadzkirah/menunda-bayar-utang-puasa-ramadhan-bolehkah/