Hukum Menunda Bayar Utang Puasa Ramadhan

23 Jan 2024 • 191 pembaca


Oleh:

KH Bachtiar Nasir

 

 

IBADAH Puasa Ramadhan merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim yang tidak boleh ditinggalkan kecuali ada alasan atau uzur syar’i yang membuatnya tidak bisa berpuasa. Jika seorang muslim yang masih kuat untuk berpuasa tapi ia berhalangan atau mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa, maka ia wajib membayar puasa yang ia tinggalkan tersebut di hari-hari lain di luar Ramadahan.

 

Sedangkan jika ia meninggalkan puasa itu karena memang sudah tidak kuat lagi untuk berpuasa karena tua atau karena sakit yang sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh maka ia wajib membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾ أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِ‌يضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ‌ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ‌ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرً‌ا فَهُوَ خَيْرٌ‌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ‌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Surat Al-Baqarah [2]: 183-184).

 

Para ulama bersepakat bahwa wajib hukumnya meng-qadha (membayar) puasa yang ditinggalkan dalam bulan Ramadhan sebelum datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah:

 

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت : كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

 

“Dulu aku memiliki utang puasa Ramadhan, sementara aku tidak bisa mengqadha’nya kecuali sampai bulan Sya’ban, hal itu karena kesibukan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim).

 

Hadits menunjukkan bahwa Aisyah tidak menunda lagi untuk membayar puasa yang ia tinggalkan hingga lepas Ramadhan berikutnya. Ia berusaha untuk membayar di bulan Sya’ban sebelum memasuki bulan Ramadhan.

 

Para ulama menjelaskan bahwa jika seseorang menunda untuk membayar puasa yang dia tinggalkan hingga datang lagi Ramadhan selanjutnya maka harus dilihat dulu keadaan dan alasan dia menunda meng-qadha hutang puasanya tersebut.

 

Pertama, jika ia menunda meng=qadha puasa yang ia tinggalkan itu karena ada uzur syar’i seperti sakit terus hingga memasuki Ramadhan berikutnya, menyusui atau hamil, maka ia tidak berdosa karena menunda tersebut. Dan ia hanya diwajibkan untuk meng-qadha (membayar) puasa yang ia tinggalkan tersebut.

 

Kedua, jika seseorang menunda meng-qadha puasa yang ia tinggalkan tersebut tanpa ada uzur syar’i maka dia berdosa karena telah menunda meng-qadha puasanya tanpa ada udzur. Para ulama sepakat dia harus tetap meng-qadha puasa yang ia tinggalkan tersebut. Tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang apakah ia harus membayar fidyah juga disamping meng-qadha puasanya itu.

 

Jumhur ulama, yaitu Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa disamping meng-qadha puasanya ia juga wajib membayar fidyah untuk setiap hari yang puasanya ia tinggalkan karena ia telah menunda-nunda dan mengakhirkan membayar hutang puasanya tersebut tanpa uzur syar’i. Dan karena hal itulah yang dilakukan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Abbas dari kalangan sahabat.

 

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa ia hanya diwajibkan untuk meng-qadha puasa yang ia tinggalkan saja dan tidak wajib membayar fidyah karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ia juga harus membayar fidyah, yang disebutkan dalam ayat hanyalah mengqadha puasa saja.

 

Karena tidak adanya nash yang tegas memerintahkan kita untuk membayar fidyah disamping kewajiban meng-qadha puasa yang kita tinggalkan kecuali riwayat dari beberapa orang sahabat yang tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan sesuatu ke atas seorang muslim, maka kebanyakan ulama sekarang seperti Yusuf al-Qardhawi dan Syaikh ‘Utsaimin mengatakan bahwa hukum meng-qadha puasanya adalah suatu kewajiban. Tetapi membayar fidyah karena menunda meng-qadha puasa tersebut hukumnya adalah sunnah untuk membayar kelalaian kita dalam menunaikan kewajiban itu.

 

Oleh karena itu, jika seseorang menunda meng-qadha puasa yang ia tinggalkan pada Ramadhan sampai datang lagi Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar’i maka ia berdosa. Oleh karena itu ia harus bertaubat dan memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia wajib meng-qadha puasa yang ia tinggalkan tersebut, dan jika ia juga membayar fidyah maka itu lebih baik.

 

Adapun jika karena memang ada uzur syar’i, yaitu karena sebab sedang hamil maka kewajibannya hanyalah meng-qadha puasa yang ditinggalkan tersebut di luar  Ramadhan dan diusahakan jangan sampai memasuki  Ramadhan tahun depan lagi kecuali kalau memang ada uzur syar’inya.

 

Wallahu a’lam bish shawab.*

 

Sumber: https://bachtiarnasir.com/tadzkirah/menunda-bayar-utang-puasa-ramadhan-bolehkah/

Bagikan ke orang baik lainnya